BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tumbuhan di alam bebas sangat bervariasi dan komplek dalam melangsungkan siklus
hidupnya. Untuk mempertahankan generasinya tumbuhan harus memperbanyak diri baik
secara vegetatif maupun secara generatif. Perbanyakan generatif dapat dimulai
dari pertemuan antara gamet jantan dan gamet betina dari tanaman induk.
Peleburan kedua gamet tersebut menghasilkan sebuah sel yang disebut zigot,
zigot selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan utuh. Sel-sel
vegetatif tumbuhan seperti yang terdapat pada akar, batang dan daun, secara
alamiah juga mempunyai kemampuan yang mirip dengan zigot, yaitu dapat
berkembang menjadi tanaman utuh sehingga kelangsungan generasinya tetap
terjaga.
Banyak metode dalam pembudidayaan tanaman salah satunya adalah dengan teknik
kultur jaringan, selain untuk tujuan pokok yaitu perbanyakan dalam jumlah besar
dan cepat juga metode-metode untuk tujuan pemuliaan tanaman, menghasilkan jenis
tanaman yang baru yang kita inginkan. Manfaat kultur jaringan dibidang
pertanian adalah produksi tanaman bebas virus dengan teknik kultur meristem.
Untuk produksi bahan-bahan farmasi dimana sel-sel kultur juga menghasilkan
persenyawaan-persenyawaan yang dibutuhkan manusia dengan tingkat produksi
per-unit berat kering yang setara atau lebih tinggi dari tanaman asalnya.
Pemuliaan tanaman dan rekayasa genetika dengan cara memanipulasi jumlah
kromosom melalui bahan kimia, meregenerasikan jaringan tertentu seperti
endosperma dengan kromosom 3n, hibridasi somatik melalui fusi protoplasma, atau
dengan transfer dna. Pelestarian plasma nutfah tanaman juga dapat dilakukan
dengan teknik kultur jaringan dengan penyimpanan untuk jangka panjang dengan
penggunaan nitrogen cair pada temperatur –196 oC. Ada juga penyimpanan
sementara, yaitu pada temperatur antara 0 oC sampai –9 oC. Metode kultur
jaringan juga mememiliki kekurangan diantaranya ialah suatu kelainan atau
keabnormalan tanaman misalnya pada bunga maupun buah. Oleh sebab itu perlu
diketahui apa saja kelemahannya sehingga bisa mendapatkan suatu cara yang dapat
mengatasi kelemahannya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari
makalah ini ialah untuk mengetahui sifat abnormalitas tanaman kelapa sawit
(Elaeis guineensis) hasil dari kultur jaringan. Tujuan pokok penerapan
perbanyakan dengan teknik kultur jaringan adalah produksi tanaman dalam jumlah
besar pada waktu singkat, terutama untuk varietas-varietas unggul yang baru
dihasilkan.
1.2 Manfaat
Banyak
metode dalam teknik kultur jaringan, selain untuk tujuan pokok yaitu
perbanyakan dalam jumlah besar dan cepat juga metode-metode untuk tujuan
pemuliaan tanaman, menghasilkan jenis tanaman yang baru yang kita inginkan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian kultur
jaringan
Kultur jaringan ialah sutu metode untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman
seperti sel, jaringan, atau organ serta menumbuhkannya secara aseptis (suci
hama) di dalam atau di atas suatu medium budidaya sehingga bagian-bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diridan bergenerasi menjadi tanaman lengkap
kembali. Prinsip kultur jaringan terdapat pada teori sel yang dikemukakan oleh
dua ahli biologi dari jerman, M.J. Schleiden dan T. Schwann. Secara implisit
teori tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat autonom atau mempunyai
sifat totipotensi. Sel bersifat autonom artinya dapat mengatur rumah tangganya
sendiri, disini yang dimaksud adalah dapat melakukan metabolisme, tumbuh dan
berkembang secara independen jika diinduksi dari jaringan induknya. Totipotensi
diartikan sebagai kemampuan sel tumbuhan ( baik sel somatif / vegetatif maupun
sel gametik) untuk bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman
seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam baha asing disebut
sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok
sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai
sifat seperti induknya.
Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu
jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis,
plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan
jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu
membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan.
Teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau
irisan jaringan tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan
dan dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril.
dengan cara demikian sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan
kedlam medium diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil yang
lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu
irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi
planlet dlama jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman ini berdasarkan teori sel
sperti yang dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan
autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan
setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan
yangsesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.
2.2 Prinsip Dasar
Kultur Jaringan
Prinsip dasar kultur
jaringan berpegangan pada teori sel dari Schwan dan Schleiden pada tahun 1834.
Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi menyatakan bahwa
setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis
yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika
kondisinya sesuai. Sel-sel tersebut merupakan kesatuan biologis terkecil yang
mempunyai kemampuan untuk mengadakan berbagai aktivitas hidup, seperti:
metabolisme, reproduksi, pertumbuhan dan beregenerasi.
Orang pertama yang membuktikan teori totipotensi sel adalah Haberlant pada
tahun 1902. Penelitian ini didasari oleh teori sel dan pemikiran bahwa setiap
sel tumbuhan di dalam medium dan lingkungan yang cocok pada hakekatnya mampu mengadakan
regenerasi membentuk organ yang sama atau membentuk organisme serupa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel pada metode
kultur jaringan adalah sumber eksplan, media, hormon, zat pengatur tumbuh
(ZPT), dan lingkungan fisik kultur jaringan.
Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang
diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai
bahan dasar untuk pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan
yang aseptik dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair.
Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya
dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristem,
seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila
menggunakan embrio bagian bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu
diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.
2.3Kelebihan dan Kelemahan
Teknik Kultur Jaringan
Kelebihan teknik kultur jaringan adalah dapat memperbanyak tanaman tertentu
yang sangat sulit dan lambat diperbanyak secara konvensional, dalam waktu
singkat dapat menghasilkan jumlah bibit yang lebih besar, perbanyakannya tidak
membutuhkan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa mengenal
musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan dapat memanipulasi genetik dan
biaya pengangkutan bibit lebih murah.
Kelemahannya
adalah dibutuhkannya biaya yang relatif lebih besar untuk pengadaan
laboratorium, dibutuhkan keahlian khusus untuk mengerjakannya dan tanaman yang
dihasilkan berukuran kecil dengan kondisi aseptik, terbiasa dilingkungan hidup
dengan kelembaban tinggi dan relatif stabil sehingga perlu perlakuaan khusus
setelah aklimatisasi dan perlu penyesuaian lagi untuk kelingkungan eksternal.
2.4 Kandungan kelapa
sawit dan sebarannya
Kelapa sawit (Elaeis Guineensis, Jacq) merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak nabati yang sangat penting. Menurut penelitian, daerah asal tanaman
kelapa sawit adalah Afrika, yaitu kawasan Nigeria di Afrika Barat. Penyebaran
tanaman kelapa sawit dari daerah asal secara tidak langsung terkait dengan
perdagangan budak dari Afrika dari abad pertengahan. Setelah Colombus menemukan
benua Amerika dan terbukanya perjalanan ke kawasan Asia. Tanaman kelapa sawit
menyebar ke kawasan baru oleh usaha usaha bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda.
Dewasa ini tanaman kelapa sawit diusahakan di berbagai negara beriklim tropis
terutama dikawasan yang terletak antara 100 lintang utara dan 100 lintang
selatan. Kawasan tersebut, terdapat beberapa negara penghasil utama kelapa
sawit seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, Papua Nugini, RRC dan India di
Asia, Pantai Gading, Ghana, Kamerun dan Nigeria, di Afrika serta beberapa
negara Amerika Selatan seperti Columbia, Costarika, Hondoras dan Equador
(Setyamidjaja, 2006).
Kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang penting disamping kelapa
sawit, kacangan-kacangan, jagung, bunga matahari, zaitun dan sebagainya.
Penggunaan minyak kelapa sawit telah dimulai sejak abad XV dan pemasarannya ke
Eropa baru dimulai tahun 1800-an. Minyak sawit yang dimanfaatkan berasal dari
daging buah (mesocrap) dan inti sawit (kernel, endosperm) (Setyamidjaja, 2006)
2.5 abnormalitas
pada kultur jaringan kelapa sawit
Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya abnormalitas pada tanaman kelapa
sawit hasil kultur jaringan, perubahan tersebut dapat bersifat genetik (Rao
& Danough, 1990), gangguan ekspresi gen diakibatkan fitohormon (Jones, 1991
& Paranjothy et al., 1993), struktur kalus (Pannetier et al., 1981; Ahee et
al., 1981 & Duran-Gasselin et al., 1993) lamanya subkultur dan umur kalus
(Paranjothy et al., 1993), tekanan seleksi yang dipakai, jenis eksplan yang
digunakan, level ploidi sumber eksplan dan kecepatan proliferasi kalus (Skirvin
et al., 1984; Karp, 1995).
Larkin & Scowcroft (1991) menyatakan bahwa variasi pada tanaman yang diregenerasi
dari kultur jaringan disebut sebagai variasi somaklonal. Variasi somaklonal
kemungkinan disebabkan ketidakaturan mitotik yang berperan dalam terjadinya
ketidakstabilan kromosom, terjadi amplifikasi atau delesi seperti inaktif gen
atau aktif kembali gengen silent.
Peschke & Philips (1992) menyatakan bahwa beberapa tipe utama variasi
genetik somaklonal adalah aberasi kromosom, aktivitas elemen transposon, dan
terjadinya metilasi DNA. Frekuensi variasi somaklonal tergantung pada cara regenerasi
planlet. Planlet yang diregenerasi dari kalus yang tidak terorganisir lebih
bervariasi dibandingkan dengan kalus yang terorganisir, sebaliknya hanya
sedikit terjadi pada planlet yang diregenerasi langsung tanpa melalui fase
kalus (Mohan & De Klerk, 1998; Bouman & De Klerk, 1996).
Menurut Meyer et al. (1994) pada tanaman tinggi metilasi sitosin yang berat
memegang peranan penting dalam ekspresi gen selama dalam perkembangan dan
diferensiasi. Pola hiper dan hipometilasi DNA yang diinduksi dalam sistem
kultur dapat ditransmisikan ke tanaman hasil regenerasi dari kultur tersebut.
Dalam medium yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi, metilasi
mengalami peningkatan. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu
menghasilkan bibit secara massal dalam waktu yang relatif singkat, seragam,
sifatnya identik dengan induknya, masa non produktif lebih singkat dan
produktivitasnya lebih tinggi. Namun, timbulnya masalah abnormalitas pada organ
reproduktif yang diketahui setelah tanaman berbunga dan berbuah (2-3 tahun
setelah tanam), merupakan kendala yang harus diatasi.
Timbulnya abnormalitas tersebut diduga disebabkan penggunaan 2,4-D yang tinggi
untuk menginduksi pembentukan kalus, dan dilakukannya sub kultur berulang kali
untuk mendapatkan embrio somatik dalam jumlah banyak. Abnormalitas pembuahan
pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantled,
yaitu mesokarp tidak berkembang. Dapat juga terjadi bunga jantan steril (Corley
et al., 1986). Abnormalitas terjadi pada rata-rata 5-10 % dari populasi bibit
asal kultur jaringan (Jaligot et al., 2000), dan bersifat epigenetik (Tregear
et al., 2002).
Marmey et al. (1991) menyatakan bahwa kalus remah yang disebut sebagai kalus
sekunder menyebabkan terjadinya kalus embrioid yang abnormal. Menurut Jones
(1991) abnormalitas yang terjadi pada klon kelapa sawit hasil kultur jaringan
disebabkan terhambatnya ekspresi gen yang mengatur pembungaan, sebagai akibat
penambahan zat pengatur tumbuh tertentu ke dalam media Untuk mengembangkan
teknik kultur jaringan sebagai alat perbanyakan klonal kelapa sawit, diperlukan
suatu teknik yang mampu mendeteksi abnormalitas secara dini di antaranya pada
tingkat molekuler atau DNA. Haris & Darussamin (1997) dan Toruan-Mathius et
al. (2001) melaporkan bahwa RAPD mampu membedakan antar genotip normal,
abnormal dan berbunga jantan dalam klon yang sama, namun tidak menemukan pita
DNA pembeda abnormalitas yang dapat digunakan untuk semua
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Kelapa sawit merupakan tanaman yang menyerbuk silang sehingga benih yang
dihasilkan tidak seragam sifatnya dan sifat unggul tidak dapat dipertahankan.
Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul diperbanyak melalui kultur
jaringan. Masalah yang dihadapi dalam perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan
teknik kultur jaringan adalah abnormalitas organ reproduktif yaitu terbentuknya
bunga jantan dan buah mantel dalam klon yang sama. Terjadinya abnormalitas
sangat beragam, dan teridentifikasi setelah tanaman berbuah. Tanaman kelapa
sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan, umumnya dalam perkembangannya akan
memiliki organ reproduktif yang abnormal. Abnormalitas berupa primordial stamen
berkembang menjadi bentuk jaringan seperti karpel, buah mantel, atau bunga
jantan mandul.
Berdasarkan jurnal dapat diketahui bahwa terjadi kelainan atau abnormalitas
pada kelapa sawit, khususnya pada bagian repreduktif kelapa sawit seperti
halnya pada bunga dan buah. Abnormalitas berupa primordial stamen berkembang
menjadi bentuk jaringan seperti karpel, buah mantel, atau bunga jantan mandul.
Terdapat berbagai cara untuk mengetahui keabnormalitasan pada tanaman kelapa
sawit,diantaranya ialah :
1.
Seperti dengan menggunakan teknik atau metode
pengamatan langsung pada tiap fase dan tahap perkembangan yang dimulai dari
bunga atau membandingkan tumbuhan normal dengan abnormal secara visual,
2.
Analisis abnormalitas tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq) hasil kultur jaringan dengan teknik Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) dimana dengan teknik ini DNA diekstraksi dari daun muda
sebanyak 0,3 g dari tiap klon percobaan, berdasarkan jurnal terdapat klon enam
MK normal dan abnormal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kesamaan genetik serta pengelompokan antar genotipe normal dan abnormal dalam
klon yang sama maupun antar klon, serta menetapkan pita DNA penciri untuk
abnormalitas dengan RAPD. Mencegah penguapan pada saat reaksi berlangsung maka
contoh dilapisi dengan 25mL mineral oil,
3.
Selanjutnya adalah dengan metode Amplified Fragment
Length Polymorphism (AFLP) yaitu suatu metode untuk menganalisis normal dan
abnormal pada klon kelapa sawit. AFLP merupakan kombinasi dari metode RAPD
dengan RFLP yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik melalui
penggandaan fragmen DNA yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi dengan
menggunakan primer spesifik. Berbeda halnya dengan metode RAPD yang
mengekstraksi daun muda dari kelapa sawit, pada metode AFLP DNA diisolasi dari
buah muda dan juga daun muda klon MK 152, MK 209, dan MK 212 yang masing masing
terdiri atas genotip normal, berbuah abnormal, dan berbunga jantan steril.
Percobaan mencakup (i) seleksi primer AFLP yang mampu menghasilkan pita yang
polimorfis, (ii) analisis kemiripan genetik, UPGMA, komponen utama dan pita
pembeda antar genotip normal dan abnormal.
Metode yang pertama dengan cara mengkarakteristikkan morfologi dari bunga
kelapa sawit baik bunga betina maupun bunga jantan, dalam hal ini memperhatikan
perkembangan organ-organ bunga secara visual dan membandingkan dengan organ
atau bagian dari bunga yang normal sehingga dapat diketahui perbedaan diantara
keduanya seperti perbedaaan sepal, petal, seludang, karpel maupun perhiasan
bunga, selain mempelajari karakter dari bungan juga mempelajari dan mengamati
Karakteristik morfologi buah abnormal dan tingkat abnormalitas buah
Karakteristik buah abnormal bervariasi dalam klon meliputi jumlah, ukuran dan
bentuk karpel tambahan. Jumlah karpel tambahan bervariasi tiga sampai tujuh
mengelilingi karpel utama, berukuran sama dengan karpel utama namun ada yang
lebih pendek. Karpel tambahan pada bunga berkembang sampai fase buah panen,
sehingga klasifikasi tingkat abnormalitas pada buah mencerminkan tingkat
abnormalitas pada bunga. Karakterisasi tingkat abnormalitas didasarkan pada
batasan antar karpel tambahan dan karpel utama, kondisi mesokarp, serta
keberadaan biji. Tiga kriteria ini tidak dapat dilakukan pada fase bunga
sehingga perbedaan tingkat abnormalitas ditentukan pada buah matang karena biji
telah terbentuk sempurna.
Metode yang kedua ialah Analisis abnormalitas tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis) hasil kultur jaringan dengan teknik Random Amplified Polymorphic
DNA (RAPD), sebelumnya dilakukan isolasi DNA genom dan reaksi PCR. DNA
diekstraksi dari daun muda sebanyak 0,3 g dari klon enam MK normal dan
abnormal. Pengujian kualitas dan kuantitas DNA dilakukan dengan mengamplifikasi
DNA dengan PCR Reaksi amplifikasi dilakukan menggunakan alat Thermal Cycler
(Thermolyne, Amplitron-I). selanjutnya produk amplifikasi primer dianalisis
dengan data RAPD yang bertujuan mampu menghasilkan pita dalam jumlah banyak dan
tegas, Untuk menentukan kesamaan genetic antar genotipe yang dianalisis,
seluruh pita DNA yang polimorfik ditetapkan dengan ada (1) dan tidaknya (0)
pita yang sama. Pita fragmen DNA yang dibaca dari hasil elektroforesis adalah
yang tergolong tajam dan medium. Kesamaan antar genotype ditentukan menurut Nei
& Li (1979). Pengelompokan data matriks dan pembuatan dendogram dilakukan
dengan metode Unweighted Pair-Group Method With Arithmetic (UPGMA), fungsi
Similarity Qualitative (SIMQUAL) menggunakan program komputer NTSYS-pc (Rohlf, 1993).
Hasil yang didapat dari analisis data tersebut menunjukan terdapat produk
primer yang mampu menunjukan perbedaan antara yang normal dan abnormal pada
klon yang sama dan juga yang berbeda. Kesamaan genetik antar seluruh genotype
berbuah normal dengan genotipe abnormal (% dan berbuah mantel) adalah berkisar
antara 0,44 - 0,89. Kesamaan genetik antar genotipe abnormal antar klon
berkisar antara 0,59 - 0,89. Sedang kesamaan genetik antar genotipe berbunga
jantan antar klon berkisar antara 0,47-0,78. Hasil yang diperoleh ini
memperkuat dugaan bahwa abnormalitas terjadi akibat adanya perubahan dalam
susunan oligonukleotida secara acak yang berbeda antar klon.
Metode yang terakhir yaitu menggunakan metode Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP) dengan cara mengisolasi DNA buah muda dan juga daun muda pada kelapa
sawit Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan teknik AFLP untuk mendapatkan
pita DNA pembeda antar genotip normal, jantan mandul, dan buah abnormal dalam
klon maupun antar klon kelapa sawit yang dihasilkan dari kultur jaringan. AFLP
merupakan kombinasi dari metode RAPD dengan RFLP yang dapat digunakan untuk
menganalisis keragaman genetik melalui penggandaan fragmen DNA yang dihasilkan
dari pemotongan enzim restriksi dengan menggunakan primer spesifik . AFLP
banyak digunakan di antaranya untuk mendeteksi sifat-sifat yang berhubungan
erat dengan lokus suatu karakter tertentu, sidik jari DNA, keragaman genetic
penelusuran pola segregasi, penelusuran hasil mutasi, menetapkan jarak genetic
dan mengidentifikasi keterpautan gen dengan resistensi penyakit. AFLP memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan RAPD antara lain dapat diperoleh jumlah
karakter yang lebih banyak karena jumlah pita DNA yang dihasilkan lebih banyak,
amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan lebih stabil. menyatakan bahwa
nisbah multipleks yang tinggi dari penanda AFLP membuat teknik ini dapat
digunakan untuk mengenali hubungan kekerabatan yang sangat dekat antar-genotip,
perbedaan antar klon dalam satu kultivar, keragaman yang disebabkan terjadinya
mutasi yang sangat sedikit, atau adanya perbedaan genetik yang sangat kecil.
Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit secara massal
dalam waktu yang relatif singkat, seragam, sifatnya identik dengan induknya,
masa non produktif lebih singkat dan produktivitasnya lebih tinggi. Namun,
timbulnya masalah abnormalitas pada organ reproduktif yang diketahui setelah
tanaman berbunga dan berbuah (2-3 tahun setelah tanam), merupakan kendala yang
harus diatasi.
Timbulnya abnormalitas tersebut diduga disebabkan penggunaan 2,4-D yang tinggi
untuk menginduksi pembentukan kalus, dan dilakukannya sub kultur berulang kali
untuk mendapatkan embrio somatic dalam jumlah banyak. Abnormalitas pembuahan
pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantled,
yaitu mesokarp tidak berkembang. Dapat juga terjadi bunga jantan steril.
Abnormalitas terjadi pada rata-rata 5-10 % dari populasi bibit asal kultur
jaringan dan bersifat epigenetik.
Marmey et al. (1991) menyatakan bahwa kalus remah yang disebut sebagai kalus
sekunder menyebabkan terjadinya kalus embrioid yang abnormal. Menurut Jones
(1991) abnormalitas yang terjadi pada klon kelapa sawit hasil kultur jaringan
disebabkan terhambatnya ekspresi gen yang mengatur pembungaan, sebagai akibat
penambahan zat pengatur tumbuh tertentu ke dalam media.
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya abmormalitas hasil dari kultur
jaringan yang pada dasarnya juga memberikan solusi atau kemudahan dalam hal
mempercepat atau memperbanyak anakan tumbuhan tersebut. Hal yang sangat ekstrim
dari abnormalitas ini adalah tidak terbentuknya buah karena tandan buah
dipenuhi oleh bunga jantan atau buah bermantel berat yang menyebabkan hilangnya
produksi. Tidak adanya kualitas kontrol yang efektif untuk abnormalitas pada
produksi, dan belum lengkapnya pemahaman mengenai penyebab abnormalitas di
dalam perkembangan kultur in vitro berakibat pada tertundanya upaya untuk memproduksi
bibit unggul kelapa sawit secara klonal.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan jurnal yang telah diuraikan di atas, maka dapat dibuat kesimpulan
bahwa:
1.
pengamatan abnormalitas dapat dilakukan melalui
visual maupun lewat DNA secara analisis Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).
2.
Primer RAPD yaitu OPC-08, SC10-19,
OPC-07 dan OPW-19 mampu membedakan genotipe normal dan tidak normal dalam klon
yang sama untuk seluruh klon yang diuji. Kesamaan genetik antar klon normal
lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan genetik antar genotipe normal dan
abnormal maupun antar genotipe abnormal.
3.
Pasangan primer selektif AFLP yang menghasilkan pita
DNA yang mampu membedakan genotip jantan, normal dan abnormal dalam klon kelapa
sawit yang sama.Tidak ditemukan primer selektif dan pita DNA-AFLP spesifik yang
mampu membedakan antara genotip normal, jantan, dan abnormal untuk semua klon
kelapa sawit.
Daftar
Pustaka
Fatmawati,
K. Pamin, G. Ginting, Subronto, C.H. Muluk. 1997. Performance of oil palm
clones in the field based on ten year observation. Proceedings of The
Indonesian Biotechnology Conference, Jakarta. p. 367-378.
Hartley,
C.W.S. 1977. The Oil Palm. Second Edition. Longman London. 706 p.
Jaligot,
E., T. Beule, F-C. Baurens, N. Billotte, A. Rival. 2004. Search for
methylation-sensitive amplification polymorphisms association with the
“mantled” variant phenotipe in oil palm (Elaeis quineensis Jacq.). Genome. 47
(1) :224-228
Helen
Hetharie2, Gustav A.Wattimena, Maggy Thenawidjaya, Hajrial Aswidinnoor,
Nurita Toruan-Mathius dan Gale Ginting,2007, Karakterisasi Morfologi Bunga dan
Buah Abnormal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Hasil Kultur Jaringan, Bul.
Agron. (35) (1) 50 – 57
Lubis, A.U.
1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian
Perkebunan Marihat Bandar Kuala Pematang Siantar-Sumatera Utara. 435 hal.
Nurita
TORUAN-MATHIUS , Saro Ina Ita BANGUN & MARIA-BINTANG, 2001, Analisis
abnormalitas tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) hasil kultur
jaringan dengan teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Menara
Perkebunan, 69(2), 58-70
NuritaTORUAN-MATHIUS,
ENDANG-YUNIASTUTI, Ridwan. SETIAMIHARJA & Murdaningsih H. KARMANA, 2005,
Analisis genotip normal dan abnormal pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) dengan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Menara perkebunan,
73(1), 12-25
Nurhaimi–
Haris & A. Darussamin (1997). RAPD analysis of oil palm clones with normal
and abnormal fruits. Menara Perkebunan, 65, (2), 64-74.
Nurhaimi–Haris
(1998). Analysis of fruiting abnormality among oil palm (Elaeis guineensis
Jacq.) clones by RAPD technique. Menara Perkebunan, 66, (2), 55-63.
Peshke,
V.M. & R.L. Phillips (1992). Genetic implications of somaclonal variation
in plants. Adv. Genet., 30, 41-47.
Setyamidjaja,D.
2006. Kelapa sawit, teknik budi daya panen dan pengolahan. Edisi revisi. Kanisius,
Yogyakarta.
Toruan-Mathius,
N. & T. Hutabarat (1997) mikropopagasi kopi arabika (copffeea Arabica L.)
melalui embryogenesis somatic dan analisis kestabilan genetiknya dengan RAPD.
Dalam Prosising Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya,
12-14 MAret 1997. p. 105- 110
0 komentar:
Posting Komentar